Pemuka Agama Dorong Seluruh Umat Gugat UU Ciptaker

Pemuka Agama se-Indonesia sepakat untuk secara tegas menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020). 


Bahkan, ada sebagian dari pemuka agama yang menjadi inisiator pembuatan petisi dengan judul 'Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik' di situs change.org.


Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Mery Kolimon yang merupakan salah satu inisiator menyatakan kesiapannya dalam mendorong masyarakat untuk melakukan gugatan terhadap undang-undang kontroversial itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).


"Sangat penting bahwa kita menempuh proses-proses, kalau sekarang menjadi UU maka masih dimungkinkan kalau secara konstitusional untuk judicial review," kata Mery dalam diskusi daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Fraksi Rakyat ID, Selasa (6/10/2020).


Mery mengecam langkah yang dilakukan oleh DPR RI. Sebab, beberapa poin dalam UU Ciptaker ini berisiko meresahkan warga, merugikan lingkungan, dan juga melanggar HAM. Sehingga wajar terjadi gelombang aksi penolakan oleh sejumlah buruh di berbagai daerah.


"Kami mendorong masyarakat sipil menempuh proses Judicial Review UU Ciptaker demi hal yang sangat mendasar bagi kehidupan bangsa, keadilan sosial dan juga bagi kelestarian hidup," jelasnya.


Mery menyebut UU Ciptaker ini sudah memangkas hak-hak buruh atau pekerja. Sebab, nantinya pekerja akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan.


Penyelewengan


Sementara itu, Cendekiawan Islam Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) juga mengaku prihatin atas kejadian yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini. 

"Akhir-akhir ini dalam beberapa tahun terakhir, DPR semakin tidak bisa dengar suara rakyat sendiri, bagi saya ini merupakan penyelewengan kekuasaan," jelasnya.


Ulil mengatakan di saat-saat seperti inilah, para pemuka agama harus hadir dalam memberikan koreksi dan peringatan kepada para pemimpin rakyat. Pemuka agama juga harus mengetahui seluk beluk permasalahan yang pada akhirnya merugikan umat.


"Tugas kaum beragama bukan memberikan legitimasi kepada orang-orang yang punya kekuasaan besar, baik politik, ekonomi, dan budaya. Tugas orang beragama adalah menyuarakan suara kenabian yaitu suara prosetif," paparnya.


Harus Melawan


Ketua Umum Badan Relawan Nusantara (BRN) Edysa Girsang mengatakan, adanya UU Cipta Kerja maka rakyat harus bangkit melawan. Oleh karena itu semua elemen bangsa tidak hanya pemuka agama harus ikut menolak. Karena keberadaan UU tersebut tidak hanya menyangkut kehidupan umat/jemaatnya tapi juga yang lainnya. 


Oleh karena itu, lanjutnya,  yang harus menolak bukan hanya pemuka agama saja tapi juga pemuka adat. "Mahasiswa, petani dan juga para pelajar juga harus menolak UU Cipta Kerja. Karena masa depan mereka terancam," tandasnya.


Jadi, sambung Eki, jelas sekali dalam penetapan UU Cipta Kerja, negara tidak melindungi rakyat dan bangsanya. Oleh karena itu yang dilakukan negara saat ini adalah penghianatan konstitusi.


"Saya pikir rakyat harus melawan ini, karena UU ini mengancam masa depan bangsa. Polisi dan aparat keamanan jangan menghalangi suara suara rakyat yang memprotes karena suara rakyat itu jeritan hati dan kekuatiran akan masa depan rakyat dan bangsa ini.Karena konstitusi menjamin protes rakyat. Kalian jangan ikutan menghianati konstitusi bangsa ini," tegasnya. 


Pembangkangan


Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyatakan, dari aspek sosial masyarakat, sangat memungkinkan dengan pembangkangan sipil. 


Menurutnya, pembangkangan sipil memang harus dilakukan. Alasannya, kata dia, selama ini proses legislasi yang dilakukan DPR dan Pemerintah telah melangkahi dan membelakangi kemauan publik.


"Ini bukan kali pertama, ini udah kuatrik dalam hitungan beberapa bulan. Mulai dari UU MK, UU KPK, UU Minerba. Saya lihat ini kebalik, yang dinginkan publik, misal UU PKS dicuekin. Saatnya perlawanan sipil dilakukan, pembangkangan sipil menurut saya penting," kata dia.


Buta dan Tuli


Sementara itu, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Din Syamsuddin mendukung pihak-pihak yang berencana menggugat UU Ciptaker ke MK.  Menurutnya UU tersebut memiliki banyak cacat sebelum disahkan. "


Rakyat bisa melakukan class action dan judicial review, menggugat UU Ciptaker yang cacat moral dan politik. Saya akan ikut bersama," kata Din dalam pesan singkatnya, Selasa (6/10). 


Mantan ketua umum PP Muhammadiyah menilai pemerintah dan DPR memaksakan pengesahan RUU Cipta Kerja. Menurut Din, pemerintah dan DPR seolah tidak mau mendengarkan aspirasi publik yang condong menolak RUU sapu jagat. 


"Pengesahan RUU Ciptaker menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR telah buta, tuli, dan beku hati terhadap aspirasi rakyat. Mereka lebih membela pengusaha daripada kaum pekerja," lanjut dia. 


Kemunduran


Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Lucy Kurniasari juga secara tegas menolak UU Cipta Kerja. Alasannya, UU Cipta Kerja karena lebih buruk dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Karena UU Cipta Kerja melemahkan daya tawar karyawan dihadapan pemilik perusahaan. Selain itu, UU Cipta Kerja memberi ruang lebih besar bagi tenaga kerja asing. 


"Ini akan membahayakan bagi tenaga kerja dalam negeri," kata Lucy Kurniasari di Jakarta, Selasa (6/10/2020).


Lucy menilai, adanya UU Cipta Kerja juga akan membuat tenaga kerja Indonesia akan makin sulit menjadi pegawai tetap. Padahal menjadi pegawai tetap akan memberi kepastian hukum bagi para pekerja. Oleh karena itu keberadaan UU Cipta Kerja akan semakin banyak pegawai kontrak seunur hidup, bukan pegawai tetap. Hal ini akan melemahkan posisi pegawai.


"Upah minimum sektor kabupaten/kota juga akan hilang. Tentu hal ini dapat merugikan para pekerja itu sendiri," paparnya.


Menaker


Sementara itu Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyatakan bahwa prematur jika ada yang menyimpulkan kalau UU Cipta Kerja akan membuat pekerja rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).


"Sangat prematur apabila secara tergesa-gesa menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja ini rentan terhadap PHK bagi pekerja atau buruh. RUU Cipta Kerja ini justru ingin memperluas penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas perlindungan bagi pekerja atau buruh, utamanya perlindungan bagi mereka yang mengalami PHK melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)," kata Menaker Ida dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.


Cipta Kerja juga semakin mempertegas pengaturan mengenai "upah proses" bagi pekerja selama PHK masih dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht), sebagaimana amanat Putusan MK No.37/PUU-IX/2011.







Sumber Artikel:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serius Itu Diperjuangin, Bukan Hanya Diajak Chating. Tidak Serius Namanya Jika Belum Dihalalin